Selasa, 21 April 2015

Wisata Ala Para Lansia Naik Kereta Api Lokal Bandung, Ke Situ Ciburuy



 
Pengumuman menjelang kenaikan harga tiket KA , di Stasiun KA Kiaracondong Bandung , alhir Maret 2015

            Kereta api dalam kota (Bandung – Padalarang) sudah berbeda sekarang. Tak ada lagi  kambing mengembik dalam  gerbong, atau ayam berkotek dan tolombong   sayuran ukuran jumbo. Tidak lagi bau busuk bakul ikan basah , atau  sampah berserakan.  Tak ada pula penumpang di atas atap kereta.
Meski  dengan bodi kereta yang  sederhana, tetapi di dalamnya cukup bersih , tertib dan nyaman. Walau ACnya dan  interiornya  sedikit usang, tidak sesempurna  KA kelas eksekutif,  perjalanan  untuk kami,  para ibu usia 50 tahun ke atas ini, tetap menyenangkan. Gerbong yang kami tumpangi memang kereta api bekas. Tapi masih sangat layak untuk kami tumpangi.


Bagian dalam, Gerbong KA Lokal , Bandung Raya Ekonomi, meski sederhana, tapi nyaman dan bersih

            Berangkat dari stasiun Kiaracondong (jalan Ibrahim Ajie) naik kereta Bandung Raya Ekonomi, . Sengaja kami berwisata di hari kerja . Alasan utamanya, anggota keluarga yang lain juga tengah  beraktifitas di luar rumah (kantor, kampus, sekolah)  sejak pagi hingga  petang. Kami berangkat setelah menyiapkan keberangkatan mereka. Dan nanti mereka pulang kami sudah berada di rumah dan meyiapkan makan malam.
Jika hari libur ,mereka  semua kumpul di rumah,  maka kami para ibu senantiasa ada di tengah mereka. Alasan lainnya,  kereta api tidak terlalu padat penumpang, jalan raya tidak semacet  akhir pekan.
            Hari itu tiket kereta api menjelang naik, dari Rp 1.500 , menjadi Rp 4.000. Mumpung belum naik, karena besok-besok  menjadi lebih mahal.
            Naik kereta api  kami bisa duduk nyaman, dibandingkan naik angkot dimana badan kami harus ditekuk-tekuk saking sempitnya. Kami juga tak perlu merasakan  jalan berputar-putar dan macet. Perjalanan dapat  lebih cepat.
Contoh soal, kalau ke Pasar Baru  naik angkot butuh waktu  1 ½ hingga 2 jam lantaran angkot rajin mengetem dan jalanan macet. Tapi kalau naik KA, tinggal  naik angkot ke stasiun (15 sampai 20  menit), lalu  perjalanan kereta bisa  hanya 10 hingga 15 menitt. Lebih-lebih jika mau ke Pasar Kosambi, bisa-bisa hanya 5 menit. Ketika tiket KA belum naik menjadi Rp 4000,- ,  total ongkos pulang pergi  ke Pasar Baru hanya Rp 9.000,- (dari Margahayu Raya Bandung) . Sementara ongkos angkot pulang pergi bisa  Rp 16.000,-

Tranportasi Masal  yang Nyaman

Naik angkot jurusan Riung-Dago dari  kawasan Metro, kebetulan jalan  tidak semacet  biasanya. Cukup 15 menit  di jalan, kami turun di depan stasiun Kiaracondong. Hanya saja, bukan masuk ke bagian depan stasiun,  karena diperuntukkan bagi penumpang  kereta antar kota. Porsi kami yang  lewat pintu belakang. Kami  menyusuri jalan di selatan  rel kereta,  yang sedikit becek lantaran banyak pedagang. Banyak juga becak parkir dan  sedikit semrawut. 


Stasiun kereta bagian belakang  ternyata cukup bersih. Peron yang terawat baik, kendati  kursi dan lantainya sudah menua. Tak masalah, asal bersih, dan tersedia tempat sampah memadai, dengan  petugas yang sopan dan disiplin.  Itu saja sudah  menentramkan  hati .


Peron stasiun  KA Lokal Kiaracondong (di sebelah selatan Stasiun utama), bersih rapih.


Petugas karcis juga  tidak lagi hare-hare. Petugas yang masih belia tersebut dengan senyum ramah  melayani kami dengan cepat cekatan. Tidak sambil mengobrol dengan rekan kerja, tidak  juga sembari  sibuk berHP ria. Saya acungkan jempol untuk keprofesionalan ini. Hai, sejak kapan pelayanan kereta api membaik? Mungkin saya sudah terlalu lama tak pernah menggunakan jasa kereta api sejak 20 tahun silam. Menurut Ibu Yuni, sejak ditangani oleh direktur PT KAI yang sekarang sudah menjadi Menteri Perhubungan.


Peron stasiun  KA Lokal Kiaracondong (di sebelah selatan Stasiun utama).

Petugas loket dengan ramah, memberikan penjelasan jam keberangkatan. Kami para ibu lansia  akhirnya  mendapat tiket untuk berangkat jam setengah 10 pagi.
Duduk sebentar di peron sambil menikmati roti maryam yang dijual di sana. Ibu Harmini memilih membeli gorengan di gerobak  jajanan di luar stasiun.

Peron stasiun  KA Lokal Kiaracondong (di sebelah selatan Stasiun utama).

Saat  kereta  dari Cicalengka  memasuki stasiun dan berhenti, kami langsung memasuki kereta. Lumayan rada sarat penumpang rupanya , tapi tetap kebagian tempat duduk. Kereta sampai di  Pasar Kosambi, Stasiun Cikudapateuh, banyak penumpang turun.
Banyaknya penumpang  bertujuan ke pusat kota dari Bandung Timur, karena berbagai keperluan. Seorang ibu  yang sudah sepuh  melontar senyum kepada saya. Sama-sama  lansia mungkin ya. Ia  memanfaatkan kereta sebagai transportasi murah meriah dan nyaman, yang anti  ngetem dan ugal-ugalan.  Angkot di Bandung memang banyak yang  gemar mengetem di setiap  tikungan, tapi kalau maju jalan langsung ugal-ugalan. Menghemat ongkos  dan waktu , ujarnya.
Tak lama kemudian kereta  berhenti lagi sejenak Stasiun Bandung, dekat Pasar Baru. Jumlah penumpang yang turun lebih banyak lagi . Gerbong mulai lengang, dan kami merasa leluasa duduk berhadap-hadapan di jok  kursi yang  empuk.

Nyaman, duduk di dalam Gerbong   KA Lokal Bandung Raya Ekonomi, menuju Padalarang dari Stasiun Kiaracondong Bandung


Nyaman, duduk di dalam Gerbong   KA Lokal Bandung Raya Ekonomi, menuju Padalarang dari Stasiun Kiaracondong Bandung




Bukan masa kecil kurang bahagia atau kami tak pernah naik kereta api antar kota , tapi suasana naik kereta api bareng ibu-ibu sesama lansia  ini memang beda. Gerbong yang dahulunya terkenal penuh sesak kumuh, kini nyaman dan bersih.
Ibu Eli mengeluarkan sebungkus kue yang kami santap bersama. Seorang anak kecil yang memandang kami, akhirnya kami tawarkan kue. Bocah itu gembira menerima dan melahapnya. Ingat cucu di rumah,  Ibu Aang  memberikan kue itu sambil  tertawa.
Lumayan , hanya dalam waktu 30 menit kami sudah sampai di stasiun  Padalarang. Jalan kaki sedikit ke arah barat , kami sudah bisa menumpangi angkot jurusan Ciburuy warna kuning.  Supir angkot bersedia  angkotnya kami carter,  hanya Rp 36.000,- untuk 1 kali perjalanan, murah meriah. Dalam tempo 15 menit  angkot kuning tumpangan sudah sampai di Situ Ciburuy.


Angkot dari Stasiun KA Padalarang jurusan Situ Ciburuy
Naik angkot dari Stasiun KA Padalarang jurusan Situ Ciburuy






Pagar depan Situ Ciburuy



Ciburuy , Situ Legendaris lagu Bubuy Bulan
Kami turun di Situ Ciburuy yang sebenarnya dulu sering kami lewati saat jalan Cipularang belum ada. Karena  acara mudik lebaran keluargaku selalu melewatinya. Hanya saja kami enggan  singgah , dulu itu, dari kejauhan tampak  kurang rapih dan  sedikit kumuh. Supir angkot berjanji  akan  menjemput kami nanti setelah  shalat Dzhuhur.

Sebuah tempat parkir yang luas tampak sepi pengunjung, karena ini hari dan jam kerja. Hanya ada buruh  pabrik kuas di seberangnya yang duduk  istirahat makan siang di gerobak-gerobak tenda.

Taman tempat duduk dan berteduh  di tepian Situ Ciburuy bagian depan (selatan).
Beristirahat di taman tempat duduk dan berteduh  di tepian Situ Ciburuy bagian depan (selatan).
Beristirahat di taman tempat duduk dan berteduh  di tepian Situ Ciburuy bagian depan (selatan).


Jalan masuk yang  sedikit renjul, tak  membuat kami  enggan memasukinya. Kami menghampiri  tepian danau, di bawah sedikit pepohonan. Tampak taman yang kurang terawat. Tapi lumayan untuk ngiuhan. Segar juga duduk melepas penat sejenak. Memandang  sejuknya air danau  dengan  kehijauan di sekelilingnya. Tampak bangunan-bangunan di sisi lain danau, pada kejauhan .Ada penjaja batu akik pula di  bawah taman. Tapi tamannya  sedikit merana.

Seorang berperahu  tampak sedang mengumpulkan sampah kantong  keresek. Ada perahu yang sedang ditambatkan. Kami memang tak sempat berperahu ke pulau di tengah danau. Menurut  penjual makanan, di pulau itu tempatnya lebih representatif.  Lebih bersih, lebih indah. Naik perahu  sekira Rp 20.000 itu yang 2 penumpang, tapi harus mendayung sendiri. Ada beberapa penawaran jenis perahunya. Ada yang dengan Rp 50.000,- atau yang murah meriah hanya Rp 7.500.

Sayang hari itu kami agak bergegas . Pasalnya cuaca kurang bersahabat. Karena mendung mulai  menggelayut di langit Padalarang. Kami pikir  jangan-jangan harus menyeberang ke pulau di tengah situ, untuk  menemukan kuliner Kupat Tahu Padalarang. Jelas  tak sempat lagi kalau harus berperahu. Semoga saja di pinggir jalan Raya bisa menemukan tempat Kupat Tahu Padalarang yang bersih.

Kuliner yang ‘Aman’, Agak Sulit Menemukannya

Kami kembali ke luar gerbang menuju jalan raya. Karena merasa kurang sreg menyaksikan warung tenda di tepian danau. Banyak tumpukan sampah di dekatnya.

Saat menemukan penjual jambu batu, kami menghampiri. Dan terkejut, karena harga jualnya lebih mahal dari pedagang jambu di pasar dekat kompleks rumah kami.

Ibu Yuni  sempat mengobrol dengan pedagang jambu batu. Rupanya Ibu Yuni punya kenangan manis di  kawasan Situ Ciburuy. Masa kecilnya di tempat ini puluhan tahun silam. Saat Situ Ciburuy masih begitu jernih, pedesaan yang asri dan hijau. Di sebuah  rumah bilik seorang guru ,  ia belajar mengaji.
Penjual jambu biji itu masih ingat dan mengenal  banyak nama penduduk lama yang sudah pindah dari desa tersebut.

Selanjutnya kami  beranjak mencari  tempat makan di pinggir jalan raya. Rencana awalnya ingin makan kupat tahu Padalarang, di tempat yang bersih dan  nyaman. Ternyata kami wara wiri    , tak juga ketemu apa yang kami idamkan. Ada juga warung nasi Padang.

Akhirnya kami memilih kembali memasuki kawasan tepian Situ . Di gerbang depan tampak penjual kerajinan (craft) dari limbah kayu pinus. Lucu, mobil-mobilan yang sudah dipernis. Limbah kayunya berasal dari pabrik kuas di seberang Situ Ciburuy, tepat di jalan raya Padalarang.


Ibu Harmini mengagumi souvenir, kerajinan tangan dari Kayu Pinus limbah pabrik kuas. Berbentuk mobil-mobilan, sangat  unik 

Lokasi penjual  souvenir, kerajinan tangan dari Kayu Pinus limbah pabrik kuas. Berbentuk mobil-mobilan, sangat  unik  .

Ternyata kerajinan tangan itu dibuat di pos jaga yang berada hanya 5 meter dari tempat dijualnya craft cantik itu. Di belakang pos ada tumpukan kayu pinus bekas  , limbah pabrik kuas. Ada 2 orang wanita  ditemani anak kecil memberesi limbah untuk kerajinan tangan itu.

Dua orang wanita bersama anaknya memilah limbah kayu sisa pabrik kuas  untuk dibuat kerajinan tangan oleh warga setempat.

Ujung-ujungnya kami kembali ke jajaran warung tenda. Duh, sayang , kebersihannya mungkin harus ditingkatkan lagi. Tapi tak ada rotan, akarpun berguna. Akhirnya kami kembali ke tepian danau.

Salah satu warung  yang lumayan paling bersih,  dengan  bale-bale tempat lesehan di tepi danaunya agak lega menjadi pilihan kami.  Ada yang memesan nasi panas pakai telur yang baru digoreng. Ada yang memesan mie instant saja, supaya terjamin kebersihannya. Ibu Joko memilih beli nasi Padang   dan berjalan kaki sedikit, lalu disantap di warung tersebut.
Warung tenda di tepian selatan Situ Ciburuy.

Warung tenda di tepian selatan Situ Ciburuy.
Menikmati makan siang di warung tenda tepi selatan Situ Ciburuy.


Lesehan, relaksasi sehabis santap siang, di tepian Situ Ciburuy




Untuk minum kami membeli air minum kemasan  di minimarket. Sejenak kami  memandang perahu-perahu yang tertambat di tepian danau alami yang  sudah terbentuk  sebagai sisa danau cekungan Bandung purbakala ini. Situ Legendaris  kawih Bubuy Bulan ini masih cantik.
Lesehan di warung tenda sederhana, asyik juga. Ingat jaman baheula. Sambil  berbincang-bincang hal ringan, memandang  kejauhan danau . Ah, tetap indah. Meskipun tampak ada bukit mulai menggundul.

Menatap pesona alam   dari arah  taman tempat duduk dan berteduh  di tepian Situ Ciburuy bagian depan (selatan).Tampak bukit kejauhan yang menggundul.

Perahu tanpa penumpang, di Situ Ciburuy , difoto  dari arah  taman warung tenda.


Menatap keindahan danau Situ Ciburuy dari arah  selatan, tampak pulau di tengah danau, tempat rumah makan.


Pemandangan dari arah  taman tempat duduk dan berteduh  di tepian Situ Ciburuy bagian depan (selatan). Seorang lelaki menggunakan rakit kecil mengumpulkan sampah plastik keresek untuk didaur ulang.

Pemandangan Situ Ciburuy dari arah  sebuah warung tenda.

Pemandangan Situ Ciburuy dari arah  sebuah warung tenda.



Situ Ciburuy ini sempat mengalami keterlantaran dan sangat kotor  di tahun 1970an. Sekarang sudah jauh  lebih baik penataannya.  Mungkin harus ditata taman-tamannya, kebersihannya ditingkatkan, dan pepohoanannya diperbanyak. Juga taman-tamannya dibuat lebih asri  dan nyaman. Bunga-bunga dan perdu berwarna  kalau saja diperbanyak di sini, tempatnya akan lebih ‘naik kelas’.

Banyak yang berubah memang. Bukit-bukit di utara yang dulu rimbun oleh hutan, kini banyak yang gundul. Bantaran Situ Ciburuy sudah dipenuhi banyak bangunan.

Padalarang di masa kecil kami  lebih hijau dan lengang.  Kini lalu lalang kendaraan, dan sawah-sawah yang mulai berganti dengan bangunan. Pasar Tagog kini  selalu macet, angkot-angkot  berseliweran dan sisi jalannya sesak oleh angkot mengetem. Sementara dulu kala delman dengan kuda-kudanyalah  yang mendominasi jalanan. Dulu kala juga, tidak ada kemacetan seperti ini.

Kembali Naik Kereta

Lesehan sejenak sambil menatap  teduhnya air danau. Cukup  memberikan  pencerahan  dan kesegaran. Ketika gerimis mulai menyirami Padalarang kami berlarian ke arah  angkot carteran yang  sudah menjemput kami.

Akhirnya kembali ke Stasiun Kereta Api Padalarang. Supir angkot dengan santunnya berulang-ulang menghaturkan terimakasih. Ia  merasa gembira mendapat order angkutan dari kami.

Pemandangan  bagian dalam gerbong kereta api. Perjalanan pulang naik KA Lokal, Bandung Raya Ekonomi, perjalanan pulang dari Padalarang menuju Kiaracondong Bandung.

            Dengan kereta api  kami akhirnya pulang ke Bandung, ongkosnya masih murah meriah, Rp 1.500 (sebelum naik tanggal 1April 2015).  Duduknya juga lega, karena cenderung  kosong penumpang plus kesejukan AC.  Tapi di Stasiun Cimahi, lalu Bandung jumlah penumpang yang masuk semakin banyak. Hanya saja tak ada penumpang berdiri. Hujan mengguyur selama perjalanan pulang. Tapi saat tiba di Kiaracondong hujan sudah mereda.

            Pukul setengah 3 sore kami semua sudah berada di rumah.  Cepat, nyaman  dan  murah perjalanan naik kereta api hari itu.

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Mengenai Saya

Foto saya
Menulis, agar Mengalirkan Berjuta Manfaat, seperti mata air kehidupan... bermuara di samudera amal kebajikan... semoga manfaat