 |
Pengumuman menjelang kenaikan harga tiket KA , di Stasiun KA Kiaracondong Bandung , alhir Maret 2015 |
Kereta
api dalam kota (Bandung – Padalarang) sudah berbeda sekarang.
Tak ada lagi kambing mengembik
dalam gerbong, atau ayam berkotek dan tolombong sayuran ukuran jumbo. Tidak lagi bau busuk
bakul ikan basah , atau sampah
berserakan. Tak ada pula penumpang di
atas atap kereta.
Meski dengan bodi kereta yang sederhana, tetapi di dalamnya cukup bersih ,
tertib dan nyaman. Walau ACnya dan
interiornya sedikit usang, tidak
sesempurna KA kelas eksekutif, perjalanan
untuk kami, para ibu usia 50
tahun ke atas ini, tetap menyenangkan. Gerbong yang kami tumpangi memang kereta
api bekas. Tapi masih sangat layak untuk kami tumpangi.
 |
Bagian dalam, Gerbong KA Lokal , Bandung Raya Ekonomi, meski sederhana, tapi nyaman dan bersih
|
Berangkat
dari stasiun Kiaracondong (jalan Ibrahim Ajie) naik kereta Bandung Raya
Ekonomi, . Sengaja kami berwisata di hari kerja . Alasan utamanya, anggota
keluarga yang lain juga tengah beraktifitas
di luar rumah (kantor, kampus, sekolah)
sejak pagi hingga petang. Kami
berangkat setelah menyiapkan keberangkatan mereka. Dan nanti mereka pulang kami
sudah berada di rumah dan meyiapkan makan malam.
Jika hari libur ,mereka semua kumpul di rumah, maka kami para ibu senantiasa ada di tengah
mereka. Alasan lainnya, kereta api tidak
terlalu padat penumpang, jalan raya tidak semacet akhir pekan.
Hari
itu tiket kereta api menjelang naik, dari Rp 1.500 , menjadi Rp 4.000. Mumpung
belum naik, karena besok-besok menjadi
lebih mahal.
Naik
kereta api kami bisa duduk nyaman,
dibandingkan naik angkot dimana badan kami harus ditekuk-tekuk saking sempitnya.
Kami juga tak perlu merasakan jalan
berputar-putar dan macet. Perjalanan dapat
lebih cepat.
Contoh soal,
kalau ke Pasar Baru naik angkot butuh
waktu 1 ½ hingga 2 jam lantaran angkot
rajin mengetem dan jalanan macet. Tapi kalau naik KA, tinggal naik angkot ke stasiun (15 sampai 20 menit), lalu
perjalanan kereta bisa hanya 10
hingga 15 menitt. Lebih-lebih jika mau ke Pasar Kosambi, bisa-bisa hanya 5
menit. Ketika tiket KA belum naik menjadi Rp 4000,- , total ongkos pulang pergi ke Pasar Baru hanya Rp 9.000,- (dari
Margahayu Raya Bandung) . Sementara ongkos angkot pulang pergi bisa Rp 16.000,-
Tranportasi Masal yang Nyaman
Naik angkot
jurusan Riung-Dago dari kawasan Metro, kebetulan
jalan tidak semacet biasanya. Cukup 15 menit di jalan, kami turun di depan stasiun
Kiaracondong. Hanya saja, bukan masuk ke bagian depan stasiun, karena diperuntukkan bagi penumpang kereta antar kota. Porsi kami yang lewat pintu belakang. Kami menyusuri jalan di selatan rel kereta,
yang sedikit becek lantaran banyak pedagang. Banyak juga becak parkir dan sedikit semrawut.
Stasiun kereta
bagian belakang ternyata cukup bersih.
Peron yang terawat baik, kendati kursi
dan lantainya sudah menua. Tak masalah, asal bersih, dan tersedia tempat sampah
memadai, dengan petugas yang sopan dan
disiplin. Itu saja sudah menentramkan hati .
 |
Peron stasiun KA Lokal Kiaracondong (di sebelah selatan Stasiun utama), bersih rapih. |
Petugas karcis
juga tidak lagi hare-hare. Petugas yang masih belia tersebut dengan senyum
ramah melayani kami dengan cepat
cekatan. Tidak sambil mengobrol dengan rekan kerja, tidak juga sembari
sibuk berHP ria. Saya acungkan jempol untuk keprofesionalan ini. Hai,
sejak kapan pelayanan kereta api membaik? Mungkin saya sudah terlalu lama tak
pernah menggunakan jasa kereta api sejak 20 tahun silam. Menurut Ibu Yuni,
sejak ditangani oleh direktur PT KAI yang sekarang sudah menjadi Menteri
Perhubungan.
 |
Peron stasiun KA Lokal Kiaracondong (di sebelah selatan Stasiun utama). |
Petugas loket
dengan ramah, memberikan penjelasan jam keberangkatan. Kami para ibu
lansia akhirnya mendapat tiket untuk berangkat jam setengah 10
pagi.
Duduk sebentar
di peron sambil menikmati roti maryam yang dijual di sana. Ibu Harmini memilih membeli gorengan di
gerobak jajanan di luar stasiun.
 |
Peron stasiun KA Lokal Kiaracondong (di sebelah selatan Stasiun utama). |
Saat kereta
dari Cicalengka memasuki stasiun
dan berhenti, kami langsung memasuki kereta. Lumayan rada sarat penumpang
rupanya , tapi tetap kebagian tempat duduk. Kereta sampai di Pasar Kosambi, Stasiun Cikudapateuh, banyak
penumpang turun.
Banyaknya
penumpang bertujuan ke pusat kota dari Bandung Timur,
karena berbagai keperluan. Seorang ibu
yang sudah sepuh melontar senyum
kepada saya. Sama-sama lansia mungkin
ya. Ia memanfaatkan kereta sebagai
transportasi murah meriah dan nyaman, yang anti
ngetem dan ugal-ugalan. Angkot di
Bandung memang banyak yang gemar mengetem
di setiap tikungan, tapi kalau maju jalan
langsung ugal-ugalan. Menghemat ongkos
dan waktu , ujarnya.
Tak lama
kemudian kereta berhenti lagi sejenak Stasiun
Bandung, dekat Pasar Baru. Jumlah penumpang yang turun lebih banyak lagi .
Gerbong mulai lengang, dan kami merasa leluasa duduk berhadap-hadapan di
jok kursi yang empuk.
 |
Nyaman, duduk di dalam Gerbong KA Lokal Bandung Raya Ekonomi, menuju Padalarang dari Stasiun Kiaracondong Bandung |
Nyaman, duduk di dalam Gerbong KA Lokal Bandung Raya Ekonomi, menuju Padalarang dari Stasiun Kiaracondong Bandung
Bukan masa kecil
kurang bahagia atau kami tak pernah naik kereta api antar kota , tapi suasana naik kereta api bareng ibu-ibu sesama lansia ini memang beda. Gerbong yang dahulunya
terkenal penuh sesak kumuh, kini nyaman dan bersih.
Ibu Eli
mengeluarkan sebungkus kue yang kami santap bersama. Seorang anak kecil yang
memandang kami, akhirnya kami tawarkan kue. Bocah itu gembira menerima dan
melahapnya. Ingat cucu di rumah, Ibu Aang memberikan kue itu sambil tertawa.
Lumayan , hanya
dalam waktu 30 menit kami sudah sampai di stasiun Padalarang. Jalan kaki sedikit ke arah barat
, kami sudah bisa menumpangi angkot jurusan Ciburuy warna kuning. Supir angkot bersedia angkotnya kami carter, hanya Rp 36.000,- untuk 1 kali perjalanan,
murah meriah. Dalam tempo 15 menit angkot
kuning tumpangan sudah sampai di Situ Ciburuy.
 |
Angkot dari Stasiun KA Padalarang jurusan Situ Ciburuy |
 |
Naik angkot dari Stasiun KA Padalarang jurusan Situ Ciburuy |
 |
Pagar depan Situ Ciburuy |
Ciburuy , Situ Legendaris lagu Bubuy
Bulan
Kami turun di
Situ Ciburuy yang sebenarnya dulu sering kami lewati saat jalan Cipularang
belum ada. Karena acara mudik lebaran
keluargaku selalu melewatinya. Hanya saja kami enggan singgah , dulu itu, dari kejauhan tampak kurang rapih dan sedikit kumuh. Supir angkot berjanji akan
menjemput kami nanti setelah
shalat Dzhuhur.
Sebuah tempat
parkir yang luas tampak sepi pengunjung, karena ini hari dan jam kerja. Hanya
ada buruh pabrik kuas di seberangnya
yang duduk istirahat makan siang di
gerobak-gerobak tenda.
 |
Taman tempat duduk dan berteduh di tepian Situ Ciburuy bagian depan (selatan).
|
 |
Beristirahat di taman tempat duduk dan berteduh di tepian Situ Ciburuy bagian depan (selatan).
|
 |
Beristirahat di taman tempat duduk dan berteduh di tepian Situ Ciburuy bagian depan (selatan). |
Jalan masuk
yang sedikit renjul, tak membuat
kami enggan memasukinya. Kami
menghampiri tepian danau, di bawah
sedikit pepohonan. Tampak taman yang kurang terawat. Tapi lumayan untuk ngiuhan. Segar juga duduk melepas penat
sejenak. Memandang sejuknya air
danau dengan kehijauan di sekelilingnya. Tampak
bangunan-bangunan di sisi lain danau, pada kejauhan .Ada penjaja batu akik pula
di bawah taman. Tapi tamannya sedikit merana.
Seorang
berperahu tampak sedang mengumpulkan
sampah kantong keresek. Ada perahu yang sedang
ditambatkan. Kami memang tak sempat berperahu ke pulau di tengah danau.
Menurut penjual makanan, di pulau itu
tempatnya lebih representatif. Lebih
bersih, lebih indah. Naik perahu sekira
Rp 20.000 itu yang 2 penumpang, tapi harus mendayung sendiri. Ada beberapa penawaran jenis perahunya. Ada yang dengan Rp
50.000,- atau yang murah meriah hanya Rp 7.500.
Sayang hari itu
kami agak bergegas . Pasalnya cuaca kurang bersahabat. Karena mendung mulai menggelayut di langit Padalarang. Kami
pikir jangan-jangan harus menyeberang ke
pulau di tengah situ, untuk menemukan
kuliner Kupat Tahu Padalarang. Jelas tak
sempat lagi kalau harus berperahu. Semoga saja di pinggir jalan Raya bisa
menemukan tempat Kupat Tahu Padalarang yang bersih.
Kuliner yang ‘Aman’, Agak Sulit
Menemukannya
Kami kembali ke
luar gerbang menuju jalan raya. Karena merasa kurang sreg menyaksikan warung tenda di tepian danau. Banyak tumpukan
sampah di dekatnya.
Saat menemukan
penjual jambu batu, kami menghampiri. Dan terkejut, karena harga jualnya lebih
mahal dari pedagang jambu di pasar dekat kompleks rumah kami.
Ibu Yuni sempat mengobrol dengan pedagang jambu batu.
Rupanya Ibu Yuni punya kenangan manis di
kawasan Situ Ciburuy. Masa kecilnya di tempat ini puluhan tahun silam.
Saat Situ Ciburuy masih begitu jernih, pedesaan yang asri dan hijau. Di
sebuah rumah bilik seorang guru , ia belajar mengaji.
Penjual jambu biji itu masih
ingat dan mengenal banyak nama penduduk
lama yang sudah pindah dari desa tersebut.
Selanjutnya
kami beranjak mencari tempat makan di pinggir jalan raya. Rencana
awalnya ingin makan kupat tahu Padalarang, di tempat yang bersih dan nyaman. Ternyata kami wara wiri , tak juga ketemu apa yang kami idamkan. Ada juga warung nasi Padang.
Akhirnya kami memilih
kembali memasuki kawasan tepian Situ . Di gerbang depan tampak penjual
kerajinan (craft) dari limbah kayu pinus. Lucu, mobil-mobilan yang sudah
dipernis. Limbah kayunya berasal dari pabrik kuas di seberang Situ Ciburuy,
tepat di jalan raya Padalarang.
 |
Ibu Harmini mengagumi souvenir, kerajinan tangan dari Kayu Pinus limbah pabrik kuas. Berbentuk mobil-mobilan, sangat unik |
 |
Lokasi penjual souvenir, kerajinan tangan dari Kayu Pinus limbah pabrik kuas. Berbentuk mobil-mobilan, sangat unik .
|
Ternyata
kerajinan tangan itu dibuat di pos jaga yang berada hanya 5 meter dari tempat
dijualnya craft cantik itu. Di belakang pos ada tumpukan kayu pinus bekas , limbah pabrik kuas. Ada 2 orang wanita ditemani anak kecil memberesi limbah untuk
kerajinan tangan itu.
 |
Dua orang wanita bersama anaknya memilah limbah kayu sisa pabrik kuas untuk dibuat kerajinan tangan oleh warga setempat. |
Ujung-ujungnya
kami kembali ke jajaran warung tenda. Duh, sayang , kebersihannya mungkin harus
ditingkatkan lagi. Tapi tak ada rotan, akarpun berguna. Akhirnya kami kembali
ke tepian danau.
Salah satu
warung yang lumayan paling bersih, dengan bale-bale tempat lesehan di tepi danaunya agak
lega menjadi pilihan kami. Ada yang memesan nasi panas
pakai telur yang baru digoreng. Ada
yang memesan mie instant saja, supaya terjamin kebersihannya. Ibu Joko memilih
beli nasi Padang dan berjalan kaki sedikit, lalu disantap di
warung tersebut.
 |
Warung tenda di tepian selatan Situ Ciburuy. |
 |
Warung tenda di tepian selatan Situ Ciburuy. |
 |
Menikmati makan siang di warung tenda tepi selatan Situ Ciburuy.
|
 |
Lesehan, relaksasi sehabis santap siang, di tepian Situ Ciburuy |
Untuk minum kami
membeli air minum kemasan di minimarket.
Sejenak kami memandang perahu-perahu
yang tertambat di tepian danau alami yang
sudah terbentuk sebagai sisa
danau cekungan Bandung
purbakala ini. Situ Legendaris kawih
Bubuy Bulan ini masih cantik.
Lesehan di
warung tenda sederhana, asyik juga. Ingat
jaman baheula. Sambil berbincang-bincang
hal ringan, memandang kejauhan danau .
Ah, tetap indah. Meskipun tampak ada bukit mulai menggundul.
 |
Menatap pesona alam dari arah taman tempat duduk dan berteduh di tepian Situ Ciburuy bagian depan (selatan).Tampak bukit kejauhan yang menggundul. |
 |
Perahu tanpa penumpang, di Situ Ciburuy , difoto dari arah taman warung tenda. |
Situ Ciburuy ini
sempat mengalami keterlantaran dan sangat kotor
di tahun 1970an. Sekarang sudah jauh
lebih baik penataannya. Mungkin
harus ditata taman-tamannya, kebersihannya ditingkatkan, dan pepohoanannya
diperbanyak. Juga taman-tamannya dibuat lebih asri dan nyaman. Bunga-bunga dan perdu
berwarna kalau saja diperbanyak di sini,
tempatnya akan lebih ‘naik kelas’.
Banyak yang
berubah memang. Bukit-bukit di utara yang dulu rimbun oleh hutan, kini banyak
yang gundul. Bantaran Situ Ciburuy sudah dipenuhi banyak bangunan.
Padalarang di
masa kecil kami lebih hijau dan lengang. Kini lalu lalang kendaraan, dan sawah-sawah
yang mulai berganti dengan bangunan. Pasar Tagog kini selalu macet, angkot-angkot berseliweran dan sisi jalannya sesak oleh
angkot mengetem. Sementara dulu kala delman dengan kuda-kudanyalah yang mendominasi jalanan. Dulu kala juga,
tidak ada kemacetan seperti ini.
Kembali Naik Kereta
Lesehan sejenak
sambil menatap teduhnya air danau.
Cukup memberikan pencerahan
dan kesegaran. Ketika gerimis mulai menyirami Padalarang kami berlarian
ke arah angkot carteran yang sudah menjemput kami.
Akhirnya kembali
ke Stasiun Kereta Api Padalarang. Supir angkot dengan santunnya berulang-ulang
menghaturkan terimakasih. Ia merasa
gembira mendapat order angkutan dari kami.
 |
Pemandangan bagian dalam gerbong kereta api. Perjalanan pulang naik KA Lokal, Bandung Raya Ekonomi, perjalanan pulang dari Padalarang menuju Kiaracondong Bandung.
|
Dengan
kereta api kami akhirnya pulang ke Bandung, ongkosnya masih
murah meriah, Rp 1.500 (sebelum naik tanggal 1April 2015). Duduknya juga lega, karena cenderung kosong penumpang plus kesejukan AC. Tapi di Stasiun Cimahi, lalu Bandung jumlah penumpang
yang masuk semakin banyak. Hanya saja tak ada penumpang berdiri. Hujan
mengguyur selama perjalanan pulang. Tapi saat tiba di Kiaracondong hujan sudah
mereda.
Pukul
setengah 3 sore kami semua sudah berada di rumah. Cepat, nyaman dan
murah perjalanan naik kereta api hari itu.